Kamis, 27 Oktober 2011

Belajar jadi perempuan

Saya adalah anak bungsu dari dua bersaudara, memiliki kakak perempuan yang usianya tidak jauh beda. Sifat kami pun sedikit hampir sama, kalau kata pribahasa "Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya" yup, namanya juga satu pabrik. Masa kecil kami? jangan ditanya, selalu saja ada yang diributkan. Bertengkar? sudah biasa. Menang? oh tentu iya. Mama dan Bapak selalu memarahi saya karena membuat kakak saya menangis, entah menjambak rambutnya atau bahkan menendang sekuat tenaga (icaa maaf ya haha). Tetapi itu semua baru saya sadari sekarang, dia kalah bukan berarti tidak mampu melawan atau membalas tapi karena dia bersikap sebagai kakak yang penuh tanggung jawab, bahkan peduli pada saya.

Saat masa sekolah, saya tidak begitu tertarik pada yang namanya "pacaran" saat semua teman sibuk cerita tentang lakilaki yang naksir atau mereka taksir. Saya hanya mendengar kadang sedikit komentar. Pokoknya kalo ada predikat tercupu kayaknya saya pantas menyandangnya. Maklum masa putih-biru saya disibukkan dengan Belajar.

Masa selanjutnya putih-abuabu, dari sini semua mulai berbeda. Saya mulai sibuk cari jati diri, mulai bertanya pada diri sendiri "Siapa sih gue?" Mulai masa-masanya suka galau, mulai sedikit ngelirik yang namanya lakilaki, inget!! cuma ngelirik ya bukan dilirik. Dan semuanya lebih berwarna ketika saya menemukan partner in crime menghabiskan sepanjang hari bersama dia, entah bercerita sepanjang jam pelajaran, berselancar di lorong kelas saat hujan deras, memanjat pohon cery saat jam pelajaran, duduk-duduk di belakang labolatorium saat istirahat tiba, makan omelet "ujang" sepiring berdua, bahkan sok akrab dengan adik kelas demi menjadikan popularitas kami naik (pengen exist haha). Semua kami lakukan atas dasar kesenangan semata, kami kadang tidak peduli kalau ada hal yang kami lakukan itu bisa membuat para lakilaki berpikir 10x untuk menjadikan kami sebagi pacar. Sekali lagi kami tidak peduli. Dan sungguh bersyukur meski kelakuan saya gak perempuan banget tapi saya berjilbab hehe. Masalah pakaian? saya gak suka pake rok. yaa stylenya gitu-gitu ajah jeans-kaos panjang-jilbab-sepatu cats. Ketika naik kelas 2 pun saya lebih banyak berteman dengan lakilaki. Intinya, saya pun seperti dianggap satu kelamin dengan mereka. yaa mau gimana lagi? perempuan kadang terlalu sibuk mengurus penampilan, sedangkan saya? bo-do. Sedikit lebih ekstrem saat kelas 3 saya amat sangat berminat dengan jurusan teknik mesin. Pada tiga kesempatan tes masuk, jurusan pertama yang saya pilih adalah teknik mesin. Dan takdirnya berkata lain. Alhamdulillah saya tetap bersyukur.

Di kelas 3 saya mulai sedikit demi sedikit belajar jadi perempuan bahkan sampai sekarang saya kuliah. Buruknya di kampus pun masih banyak saja yang bilang saya preman errrrr menyebalkan tapi nampaknya sudah melekat. Saya sendiri masa bodoh dengan perkataan orang yang bilang "Tomboy tapi suka pink" "Tampang security, hati hellokitty". Paling nggak sejak saat itu saya suka pakai rok meski masih kurang nyaman dengan gaya seperti itu, karena di kampus saya lebih suka memakai kaos lengan pendek yang kemudian saya lapisi kemeja lengan panjang dan kerudung paris. Menurut saya itu cukup nyaman dipakai untuk kuliah. Dan alhamdulillah selamat kepada partner in crime kuuu dia sekarang sudah menjadi wanita muslimah yang pakaiannya pun syar'i dan terlihat lebih anggun. Semoga saya bisa cepat mendapat hidayah. Meski banyak yang beropini saya belum berperilaku seperti perempuan, saya tetap merasa saya 100% perempuan. Sama seperti kalian, pernah menyukai lakilaki diam-diam, pernah memiliki keinginan untuk pacaran, juga pernah menangis, patah hati, dan segala hal yang perempuan rasakan. Oke, pokoknya deal saya perempuan tulen. Titik

Rabu, 26 Oktober 2011

Tiga

Aku melihat mu lagi, dan untuk ketiga kalinya aku tidak mengenali mu.
Ada apa dengan kita? Apakah sudah harus berakhir sebelum dimulai?

Cilegon, Senja